KEADILAN
MANUSIA DI MATA HUKUM
Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan
harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh
dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi
teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari
keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri
tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.
Keadilan
hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil
sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran
hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal
terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut
“kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan
keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran
pidana atau kejahatan tersebut. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan
keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi
alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena.
Equality
before the law. Suatu kata yang selalu diajarkan pada bangku kuliah fakultas
hukum di seluruh Indonesia atau bahkan seluruh dunia. Persamaan di depan hukum
setidaknya merupakan gambaran betapa hukum menempatkan setiap orang siapa pun
dia, dari mana pun dia, dan berlatar belakang apa pun dia, harus ditempatkan
dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum.
ASAS
persamaan di hadapan hukum itulah yang menjadikan hukum sebagai sarana
pencapaian keadilan. Adanya persamaan itulah, maka hukum itu harus ditaati oleh
siapa pun karena hanya lewat hukum akan ada ketertiban, ketenteraman, dan
keadilan.
Namun,
potret penegakan hukum Indonesia kini telah berada pada titik yang tidak lagi
berada pada timbangan keseimbangan, bak pedang bermata satu yang tumpul di atas
namun amat tajam di bawah. Betapa tidak, akhir-akhir ini kita banyak dapatkan fenomena
hukum di negeri Indonesia yang secara tegas konstitusinya menyebutkan sebagai
negara hukum dalam artian segala bentuk tindakan manusianya harus dilandaskan
oleh hukum. Namun, ternyata fenomena-fenomena yang ada menggabarkan betapa
hukum hanya berlaku sepihak di Indonesia.
Sebuah
tayangan televisi akhir-akhir ini secara gamblang memaparkan kepada masyarakat
bagaimana hukum itu berjalan di tangan-tangan para malaikat dunia yang
seenakanya saja memainkan dan menentukan nasib seseorang. Jelas para penegak
hukum bukan malaikat apalagi Tuhan, sehingga kesalahan adalah suatu hal yang
wajar atau bahkan suatu takdir yang tak mungkin dapat dihindari. Tapi, apakah
kesalahan yang berlangsung secara terus-menerus itu juga takdir?
Dalam tayangan televisi tersebut dipaparkan betapa kasus seorang jaksa Esther yang secara terbukti bersalah menjual barang bukti berupa pil ekstasi yang juga merupakan barang bukti sejumlah lebih dari 300 butir hanya divonis oleh majelis hakim satu tahun penjara. Sedangkan di sisi lain sebagai bahan perbandingan ada seorang sopir yang kedapatan membawa satu pil ekstasi divonis majelis hakim 4 tahun penjara.
Inikah keadilan yang dijanjikan hukum di negeri ini. Ini hanya satu kasus dari ratusan kasus atau bahkan ribuan kasus yang tidak terekspose media. Bagaimana para pelaku hukum bisa menjelaskan keadilan jika posisi hukum diibaratkan sebagai pedang yang bermata satu?
Betapa tidak, tiga ratus pil ekstasi dan satu pil ekstasi bisa diberikan hukuman lebih berat untuk yang satu pil ekstasi. Padahal, secara jelas penjual 300 pil ekstasi adalah seorang penegak hukum yang seharusnya menyandang gelar terhormat dan integritas yang harus menjadi panutan masyarakat. Sehingga layak bagi hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya karena secara pribadi ia adalah orang yang tahu hukum.
Dalam tayangan tersebut, salah seorang majelis hakim menjelaskan pertimbangannya menjatuhkan vonis satu tahun. Ia menyatakan bahwa jaksa Esther terpeleset alias tidak sengaja menjual ekstasi. Sungguh pertimbangan hukum yang menyedihkan. Sedangkan untuk kasus sopir yang membawa satu pil ekstasi tidak pernah ada pertimbangan terpeleset atau tidak. Padahal, jaksa Esther jika ditelusuri mendalam selain menjual ekstasi, dia juga mencuri barang bukti. Artinya, ada dua tindak pidana yang ia lakukan. Selain itu, dia juga menjual kepada oknum kepolisian. Sehingga dari rangkaian tersebut, efek jera dari putusan pengadilan adalah suatu hal yang mutlak agar institusi penegak hukum dapat dan mau mengoreksi dan memperbaiki citranya yang sudah hancur berantakan di mata masyarakat.
Dalam tayangan televisi tersebut dipaparkan betapa kasus seorang jaksa Esther yang secara terbukti bersalah menjual barang bukti berupa pil ekstasi yang juga merupakan barang bukti sejumlah lebih dari 300 butir hanya divonis oleh majelis hakim satu tahun penjara. Sedangkan di sisi lain sebagai bahan perbandingan ada seorang sopir yang kedapatan membawa satu pil ekstasi divonis majelis hakim 4 tahun penjara.
Inikah keadilan yang dijanjikan hukum di negeri ini. Ini hanya satu kasus dari ratusan kasus atau bahkan ribuan kasus yang tidak terekspose media. Bagaimana para pelaku hukum bisa menjelaskan keadilan jika posisi hukum diibaratkan sebagai pedang yang bermata satu?
Betapa tidak, tiga ratus pil ekstasi dan satu pil ekstasi bisa diberikan hukuman lebih berat untuk yang satu pil ekstasi. Padahal, secara jelas penjual 300 pil ekstasi adalah seorang penegak hukum yang seharusnya menyandang gelar terhormat dan integritas yang harus menjadi panutan masyarakat. Sehingga layak bagi hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya karena secara pribadi ia adalah orang yang tahu hukum.
Dalam tayangan tersebut, salah seorang majelis hakim menjelaskan pertimbangannya menjatuhkan vonis satu tahun. Ia menyatakan bahwa jaksa Esther terpeleset alias tidak sengaja menjual ekstasi. Sungguh pertimbangan hukum yang menyedihkan. Sedangkan untuk kasus sopir yang membawa satu pil ekstasi tidak pernah ada pertimbangan terpeleset atau tidak. Padahal, jaksa Esther jika ditelusuri mendalam selain menjual ekstasi, dia juga mencuri barang bukti. Artinya, ada dua tindak pidana yang ia lakukan. Selain itu, dia juga menjual kepada oknum kepolisian. Sehingga dari rangkaian tersebut, efek jera dari putusan pengadilan adalah suatu hal yang mutlak agar institusi penegak hukum dapat dan mau mengoreksi dan memperbaiki citranya yang sudah hancur berantakan di mata masyarakat.
Seharusnya
penegak hukum harus bersikap adil kepada semua masyarakat tanpa membeda bedakan
dia itu “masyarakyat biasa” atau “orang penting” di negeri ini. Dengan melihat
apa kesalahannya yang dibuat dan dihukum sesuai dengan peraturan yang ada
dengan adil, bukannya malah kasus yang lebih ringan dihukum lebih berat
daripada kasus berat dihukumnya ringan.
Integrated
is not negotiable (integritas adalah suatu hal yang tidak bisa dinegosiasikan)
sebuah ungkapan yang harus selalu dijunjung para penegak hukum kini hanya
tinggal kenangan dan berganti menjadi integrated is must negotiable (integritas
adalah hal yang harus di negosiasikan). Ketika integritas tidak lagi menjadi
bagian dari penegakan hukum di Indonesia, keadilan jelas bukan lagi monopoli
hukum di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar