KONFLIK PERBATASAN
INDONESIA – MALAYSIA
Indonesia tidak hanya terlibat konflik perbatasan dengan
Malaysia, tapi juga dengan Filipina, Singapura, Papua Nugini, Tiongkok,
Singapura, dan Australia.
Namun dari sekian banyak konflik
perbatasan dengan negara tetangga, hanya sengketa dengan Malaysia yang kerap
memanas dan menimbulkan ketegangan. Konflik selalu dimulai dengan agresivitas
Malaysia, yang direspon dengan keras oleh pers dan publik Indonesia.
Selama bertahun-tahun, Indonesia
dan Malaysia kerap berusaha menyelesaikan konflik dengan diplomasi serumpun,
tapi selalu gagal. Berikut konflik-konflik perbatasan Indonesia-Malaysia.
Tahun 1967, tidak lama setelah
perbaikan hubungan Malaysia-Indonesia, pakar hukum laut kedua negara bertemu
untuk membicarakan batas-batas teritorial. Kedua negara saling membuka peta,
dan ternyata Indonesia dan Malaysia memasukan Pulau Sipadan dan Ligitan ke
dalam peta kedaulatan.
Kedua negara menyatakan kedua
pulau itu status quo. Indonesia memahami status quo sebagai kedua pihak tidak
mengusik wilayah sengketa. Malaysia sebaliknya. Status quo dipahami sebagai
kedua pulau itu masih milik Malaysia sampai ada penyelesaian soal status baru.
Indonesia tidak melakukan apa pun
di pulau yang terletak di Selat Makassar. Sipadan membentang seluas 50 ribu
meter persegi dengan koordinat 46′52,86″LU 11837′43,52″BT. Ligitan seluas 18
ribu meter persegi dengan 49′LU 11853′BT
Indonesia ingin masalah ini
diselesaikan Dewan Tinggi ASEAN, tapi Malaysia lebih suka menggunakan Mahkamah
Internasional (MI).
Tahun 1988, Sipadan dan Ligitan
dibawa ke MI. Pada 17 Desember 2002, MI memutuskan lewat voting di lembaga itu
memenangkan Malaysia dengan 16 berbanding satu. Artinya, hanya satu hakim yang
memenangkan Indonesia, yaitu hakim pilihan Jakarta.
Kemenangan Malaysia berdasarkan
pertimbangan efektivitas. Inggris, penjajah Malaysia, melakukan tindakan
admistratif dengan penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung. Alasan lain,
berdasarkan chain of title rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu.
Blok Ambalat adalah kawasan
perairan di Laut Sulasesi, tepatnya di sebelah timur Pulau Kalimatan. Tahun
1969, Malaysia dan Indonesia menanda-tangani Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia, dan diratifikasi pada tahun itu pula.
Kuranga setahun sejak penanda-tanganan
perjanjian itu, kedua negara kembali meneken Perjanjian Tapal Batas Laut
Indonesia-Malaysia pada 17 Maret 1970. Namun tahun itu pula Malaysia secara
sepihak membuat peta baru tanap batas kontinental, dan memasukan Ambalat ke
dalam wilayahnya dengan memajukan kordinat 4 10′ arah utara melewati Pulau
Sebatik.
Jakarta menolak klaim itu, dan
merujuk Perjanjian Tapal Batas Kontinental 1969 dan Persetujuan Tapal Batas
Laut Indonesia-Malaysia 1970.
Indonesia melihat Malaysia secara
terus-menerus memperluas wilayah, dengan sebisa mungkin mencaplok wilayah
Indonesia. Ambalat memang wilayah laut, tapi dicurigai menyimpan kandungan
minyak dan gas.
Sengketa Blok Ambalat mungkin
yang paling panas. Di perairan, kapal-kapal Indonesia dan Malaysia saling halau
dan serempet. Di Jakarta, warga turun ke jalan mengecam Malaysia.
TNI merespon situasi dengan
keras. Tidak ingin lagi kehilangan wilayah ke pangkuan Malaysia, TNI
memperingatakan Malaysia tidak memprovokasi konflik terbuka. Namun di setiap
perundingan, Malaysia tetap mengatakan Blok Ambalat sebagai miliknya, dan
mengirim nota diplomatik berisi protes atas kehadiran TNI.
Camar Bulan dan Tanjung
Datu
Malaysia menghentikan
provokasinya di Blok Ambalat, tapi meneruskannya di wilayah lain, yaitu Camar
Bulan dan Tanjung Datu.
Camar Bulan adalah satu desa.
Tanjung Datu adalah daratan yang menjorok ke laut di ujung barat Pulau
Kalimatan, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Setelah ditemukan patok yang
dihancurkan, yang membuat Malaysia berhak mengklaim Desa Camar Bulan,
ketegangan kedua negara tak terhindarkan. Indonesia merespon keras, yang
membuat Malaysia menahan diri.
Itu tidak lama. Persoalan
mengeluka lagi ketika Malaysia membangun mercusuar di Tanjung Datu. Menhan RI
menyatakan Tanjung Datu dan Camar Bulan adalah Outstanding Boundary Problems
(OBP), yang masih dalam proses perundingan.
Tanjung Datu seluas 4.750
kilometer persegi, dan dihuni 493 kepala keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar