Selasa, 03 Januari 2017

Sengketa Laut China Selatan dengan Negara ASEAN


ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan
Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan sengketa wilayah Laut China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi masih belum menunjukkan titik terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negara-negara ASEAN.
Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama kalinya dalam 45 tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa.
Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan China–Filipina, Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Brunei–merasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, kelima negara itu berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa.
Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China. Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan tersebut.
Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor berita China Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China.
Karena itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang berada di dekat negara-negara tetangga mereka.
Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai.
Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu.
Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut.
Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu karena bisa dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.
Babak Baru Perang Laut China Selatan
Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara ASEAN turut memperebutkan wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus sengketa adalah Kepulauan Paracel dan Spratly.
Sejarah membuktikan, sengketa Laut China Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel, padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China.
Setelah perang itu, China menguasai Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut.
Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam.
Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan China, Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor.
Saling Klaim
Klaim wilayah, China memotong ZEE Indonesia
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan tersebut.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama.
Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17.
Komentar : konflik ini terjadi karena keegoisan cina yang tidak ingin melepaskan laut cina selatan, karena disana terdapat sumber daya minyak yang melimpah, sedangkan laut cina selatan termasuk wilayah vietanam dan filipina juga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar