Sengketa Laut China Selatan dengan Negara ASEAN
ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan
Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di
Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu untuk menentukan komunike bersama terhadap
China terkait dengan sengketa wilayah Laut China Selatan memperlihatkan persoalan
kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi masih belum menunjukkan titik
terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negara-negara ASEAN.
Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan
peristiwa pertama kalinya dalam 45 tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara
itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah demikian besar memainkan pengaruh
mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa.
Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan
China–Filipina, Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Brunei–merasa ditinggalkan
sesama anggota ASEAN. Padahal, kelima negara itu berharap ada sikap tegas dan
kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa.
Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari
harapan. Phnom Penh justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu
kemarahan China. Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja
yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan
tersebut.
Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan
diperkirakan memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton
dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor berita China Xinhua, jumlah itu
sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China.
Karena itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’
yang dikenal haus akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan
Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang berada di dekat
negara-negara tetangga mereka.
Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang
disengketakan berada dalam zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil
laut dari bibir pantai.
Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan
yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu.
Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di
tingkat regional, terutama dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu
Filipina yang juga memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut.
Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk
membuat klaim wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak
usulan itu karena bisa dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.
Babak Baru Perang Laut China Selatan
Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara
ASEAN turut memperebutkan wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus sengketa adalah Kepulauan Paracel dan
Spratly.
Sejarah membuktikan, sengketa Laut China Selatan
berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel,
padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan
itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18
tentara China.
Setelah perang itu, China menguasai Paracel. Juni lalu
China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel sebagai
bagian kota tersebut.
Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali
ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China memenangi konflik
ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam.
Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini,
perselisihan antara Filipina, baik dengan China, Vietnam, maupun Malaysia,
tergolong minor.
Saling Klaim
Klaim wilayah, China memotong ZEE Indonesia
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar
teritori Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur
Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China mengklaim berhak berdasarkan
sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai
bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta
yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan
tersebut.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga
mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis
yang sama.
Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut.
Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua
kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan,
Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan
memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly
sejak abad ke-17.
Komentar : konflik ini terjadi karena keegoisan cina
yang tidak ingin melepaskan laut cina selatan, karena disana terdapat sumber
daya minyak yang melimpah, sedangkan laut cina selatan termasuk wilayah
vietanam dan filipina juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar